
Kekerasan ekstrem pada pasangan—tindakan yang paling kejam—jarang terjadi tanpa peringatan. Psikologi forensik mengajarkan kita bahwa tindakan destruktif ini adalah puncak dari spiral masalah psikologis yang sudah mengakar, bukan ledakan emosi sesaat.
Di balik amarah yang meletus, ada tiga pilar masalah psikologis mendasar yang mendorong seorang pria menuju tindakan kekerasan ekstrem: Kebutuhan Kontrol, Ketiadaan Empati, dan Keretakan Realitas.
Jika Anda sedang menjalin hubungan atau memperhatikan dinamika di sekitar Anda, mengenali tanda bahaya (red flags) ini dapat menjadi pembeda antara keselamatan dan tragedi.
🚩 1. Kontrol Adalah Segalanya: Ketakutan Ekstrem Akan Penolakan
Pemicu utama kekerasan ekstrem seringkali bukan cemburu atau perselingkuhan, melainkan Ancaman Perpisahan. Bagi individu dengan masalah kepribadian parah (seperti narsistik atau antisosial), pasangan dilihat sebagai objek yang menjamin stabilitas ego mereka.
Tanda yang Wajib Anda Kenali:
- Isolasi Progresif: Pasangan Anda secara halus atau terang-terangan memutuskan hubungan Anda dengan teman dan keluarga. Mereka menciptakan narasi bahwa “hanya saya yang benar-benar peduli padamu,” membuat Anda bergantung sepenuhnya secara emosional dan sosial.
- Reaksi yang Tidak Proporsional: Pertengkaran kecil (misalnya, Anda ingin pergi sendirian) memicu amarah dahsyat atau ancaman bunuh diri/menyakiti diri sendiri. Ini adalah manipulasi untuk mencegah Anda menjauh.
- Pelacakan Obsesif: Ada kebutuhan kompulsif untuk tahu di mana Anda berada, dengan siapa, dan apa yang Anda lakukan. Ini bukan cinta; ini adalah usaha putus asa untuk mengendalikan setiap aspek keberadaan Anda.
Ketika kontrol ini terancam oleh permintaan cerai atau perpisahan, amuk narsistik meledak. Pelaku merasa haknya direnggut, dan satu-satunya cara untuk menegakkan kembali kontrol adalah melalui tindakan destruktif terhadap sumber ancaman tersebut.
🚩 2. Ketiadaan Empati: Memandang Pasangan Sebagai Objek
Psikopatologi yang paling mengkhawatirkan adalah defisit empati. Pelaku kekerasan ekstrem, terutama mereka yang mampu melakukan mutilasi, menunjukkan kurangnya kemampuan untuk benar-benar merasakan atau memahami penderitaan orang lain.
Tanda yang Wajib Anda Kenali:
- Pengecilan Rasa Sakit Anda: Saat Anda terluka, sedih, atau sakit, pasangan Anda mengabaikannya atau bahkan menyalahkan Anda atas perasaan tersebut. Mereka tidak mampu memberikan dukungan emosional yang tulus.
- Gaslighting dan Penyangkalan Total: Mereka secara konsisten memutarbalikkan fakta untuk membuat Anda meragukan kewarasan diri sendiri (“Itu tidak terjadi,” atau “Kamu terlalu sensitif”). Ini adalah bentuk pelecehan emosional yang bertujuan mendehumanisasi Anda.
- Tidak Ada Penyesalan Tulus: Setelah pertengkaran atau tindakan menyakiti, mereka mungkin meminta maaf, tetapi permintaan maaf itu dangkal dan berfokus pada konsekuensi bagi diri mereka sendiri (“Maaf saya marah, saya takut kamu akan meninggalkan saya”), bukan pada rasa sakit yang mereka timbulkan pada Anda.
Tindakan ekstrem seperti mutilasi hanya mungkin dilakukan ketika pelaku telah berhasil mengubah korban dari “manusia” menjadi “masalah” atau “objek” yang harus dihilangkan. Ketiadaan empati adalah jembatan menuju dehumanisasi total.
🚩 3. Keretakan Realitas: Disosiasi dan Justifikasi Diri
Dalam kasus kekerasan ekstrem, seringkali terdapat elemen disosiasi—pemisahan mental dari kesadaran dan realitas. Pelaku mungkin merasa “keluar” dari diri sendiri saat melakukan tindakan tersebut, atau mereka hidup dalam realitas yang terdistorsi.
Tanda yang Wajib Anda Kenali:
- Mata Kosong Saat Marah: Saat amarah memuncak, ekspresi mereka tiba-tiba menjadi dingin, datar, atau “kosong.” Mereka mungkin tampak terputus dari emosi mereka atau dunia luar, seolah-olah ada orang lain yang mengambil alih.
- Delusi dan Paranoid: Mereka memiliki keyakinan yang salah dan tidak tergoyahkan (delusi), misalnya, bahwa Anda bersekongkol untuk menjatuhkan mereka, bahwa setiap orang membicarakannya, atau bahwa mereka adalah korban padahal sebenarnya mereka adalah pelaku.
- Justifikasi Ekstrem: Pelaku percaya bahwa tindakan kekerasan mereka adalah logis dan diperlukan. Mereka melihat diri mereka sebagai korban yang terpojok dan terpaksa membela diri atau menghukum pengkhianatan, membenarkan setiap tingkat kekejaman.
Keretakan realitas ini, yang bisa diperburuk oleh kondisi psikotik atau stress akut, memungkinkan pelaku melewati batas moral dan melakukan tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh orang sehat mental.
Mencegah Tragedi: Langkah Anda
Psikologi forensik bertujuan untuk memahami, sehingga kita dapat mencegah. Jika Anda melihat satu atau lebih dari red flags ini pada pasangan, segera lakukan evaluasi risiko dan cari bantuan profesional.
Jika Anda menyadari diri Anda sendiri menunjukkan tanda-tanda kontrol obsesif dan amarah yang tidak terkendali, langkah pertama adalah mengakui masalah dan mencari terapi klinis, seperti Terapi Perilaku Kognitif (CBT) atau Terapi Perilaku Dialektik (DBT), untuk membangun mekanisme koping yang sehat.
Kekerasan bukanlah takdir, melainkan hasil dari masalah psikologis yang tidak tertangani. Mencari bantuan adalah kekuatan, bukan kelemahan.